Minggu, 25 September 2011

But the cover is very important


Don't read book by the cover. Pepatah baru, yang di ucapkan pada zaman modern. Kadang kita sering tertipu oleh penampilan seseorang. Kita melakukan penilaian berdasarkan penampilan seseorang. Tetapi kita belum pernah mengenali, siapa orang yang kita nilai tersebut. Semua dari penampilan awalnya.
Don't read book by the cover. Sering diucapkan oleh seseorang untuk melindungi keadaannya yang sekarang. Mungkin dirasakan kurang baik ataupun kurang sempurna. Atau memberi peringatan kepada orang lain, agar tidak merendahkan setiap orang yang tidak dia kenalinya. Pengalaman telah berbicara kepada gue. Dulu, gue pernah melihat seorang bapak yang berumur sekitar 53 tahun, terlihat dari keriput diwajahnya. Sekali lagi, jangan pernah menilai dari penampilannya. Jadi statement ini dipertegas oleh pengakuan bapak tersebut.
Turun dari mobil kijang tahun 2001 dan saat itu tahun 2009, berwarna coklat muda atau krem. Cukup terawatt dan lengkap dengan goresan-goresan disana-sini. Dengan baju batik sederhana dan celana bahan. Berbadan sangat kurus, kumis tipis. Berjalan agak bungkuk, dengan menggunakan kaca mata hitam besar menutupi kesedihannya. Dia sedang menghadiri pemakaman Ibunda tercintanya dirumah duka.
Selang waktu beberapa lama. Berhenti sebuah sedan mewah. Mercy dengan tahun terbaru. Kemudian turun seorang pria dengan pakaian hitam yang terlihat modis beserta istrinya yang cantik, mengenakan baju hitam dan terlihat sangat sexy. Ternyata istrinya, seorang artis yang berparas cantik. Melewati setiap orang yang duduk didepan rumah duka, dan tersenyum ramah. Menggambarkan kemewahan.
Sampai didepan pintu rumah duka, seorang ibu dengan baju hitam sederhana. Bertubuh gemuk, pendek, tanpa hiasan apapun, dan diwajahnya penuh dengan linangan air mata. Dia menghapus air mata diwajahnya dihadapan pria tadi dan istrinya, akan kepergian mertuanya. Dan berkata kepada pria tadi berserta istrinya yang cantik, “silahkan masuk. Suami saya ada didalam.”
Lalu pria itu dan istrinya berkata, “saya dan keluarga ikut berbela sungkawa.”
Tak lama kemudian keluar seorang bapak yang mengenakan mobil kijang tahun 2001 tadi, berdiri didepan pintu. Lalu pria itu dan istrinya menundukan badan dan bersalam dengan bapak tua tersebut dengan hormat. Berkata, “saya dan keluarga ikut berbela sungkawa. Semoga amalannya diterima disisi Nya dan dosa-dosanya diampuni.”
Sedangkan bapak tua itu tetap berdiri tegap dan penuh dengan wibawa, dihadapan pria itu dengan istrinya yang cantik dan berkata, “Amin. Terima kasih.”
Kemudian si pria bersama istrinya yang cantik bergabung bersama dengan rombongan tamu-tamu yang ingin mengucapkan bela sungkawa lainnya. Duduk didepan halaman rumah ibunda si bapak tua tadi. Tidak beberapa lama, ada seseorang yang memberanikan diri bertanya kepada si pria tadi, “Maaf, pak. Si bapak yang ada didepan itu siapa?” Dia bertanya dengan penuh penasaran.
“Dia bos saya. Seorang direktur dari perusahaan oil company.”

Nama gue, Rendhy Rindra Wardhana.
Hari yang paling bahagia buat gue. Adalah jadwal kerja hari ini, hanya pengambilan server, setelah selesai, dapat langsung pulang. Tidak bisa gue bayangkan,  hari ini gue bisa jalan-jalan, bershopping-shopping ria. Gue sudah berencana untuk berhunting-hunting film dan buku-buku yang menarik. Gue sudah membuat daftar beberapa film dan buku yang ingin gue beli seperti I Am Number Four, Season of The Witch, Drive Angry dan lain-lain. Juga buku-buku keren seperti security hacking, Setting Server dengan Ubuntu, Cari Uang dengan Blogging. “Hari yang menyenangkan !!” Pikir gue.
Gue berangkat dari rumah jam 9.30, naik kereta dengan jadwal perjalanan siang hari. Kereta untuk orang-orang pemalas termasuk gue. Pada kereta itu terlihat sepi tidak seperti kereta jadwal perjalanan pagi yang seperti biasa selalu penuh sesak. Terkadang sampai tidak bisa bergerak. Bahkan kita bisa tidur sambil berdiri tanpa harus berpegangan.
Gue bertemu salah seorang temen gue, namanya vivi. “Hi vie! Tumben masuk siang ?” Sapa dan tanya gue.
“Hi. Iya, ingin berangakat siang. Gue sudah izin. Lagi malas berangkat pagi-pagi, ingin berangkat siangan.” Jawab-nya. Vivi merupakan sahabat lama gue semenjak SMP. Kita bertemu di tempat kurus matimatika. Semenjak lulus SMU, kita tidak pernah bertemu. Setelah lulus kuliah dan bekerja, kereta lah yang mempertemukan cinta kita. Lebay !!
Benerkan?? Sebagian kereta ini di isi oleh orang-orang pemalas. Termasuk gue. Kereta yang cukup lenggang, membuat gue dan vivi mengobrol dengan leluasa. Kita bercerita mengenai masa lalu. Banyak cerita-cerita lucu antara gue dan dia. Tanpa kita sadari kereta telah memasuki stasiun sudirman.
Hal yang mengagetkan gue saat itu, setelah kereta hampir tiba di stasiun sudirman. Bos gue yang seorang direktur, mengirimkan sms tanpa rasa tidak mau tahu, merubah isi schedule. Seenak bodongnya. Yang isinya, “Pengambilan server dibatalkan, sekarang kita meeting di setiabudi building”.
“Mahluk terkutuk!” Pikir gue, setelah membaca sms. Untung saja dia bos gue, jika tidak, sudah gue kutuk menjadi perjaka seumur hidup. Tidak bermasalah pada semua rencana-rencana bahagia yang sudah gue buat tetapi bermasalah adalah baju yang gue kenakan.
Baju yang gue gunakan adalah seragam kuli panggul. Dikarenakan plan hari ini, gue harus mengambil server antara dua gedung yang jaraknya tidak berjauhan. Gue berencana untuk jalan kaki menempuh jarak tersebut. Sehingga gue merasa tidak perlu menggunakan baju kantor yang rapih dan sopan, melainkan hanya baju yang digunakan untuk nyupir metro mini.
Pikiran gue bener-bener tidak karuan jika harus meeting mendadak. “Gue mengenakan seragam kuli bangunan,  yang akan macul jembatan bus way. Di wajibkan meeting, dengan orang-orang yang berseragam eksmud.” protes gue.
 “Hahaha,” Vivi tertawa terbahak. “Loe ke Centro aja, beli baju.  Bereskan.” Teman gue menimpalinya.
Gue buka dompet gue, dan disitu tertera isi dari dompet, dua puluh lima ribu lima ratus rupiah. “Hanya bisa beli handuk kecil. Yang akan digunakan narik mikrolet. Kamprettttt !! “
“Additional cost, vie,” balas gue, mengelak. Karena keterbatasan isi dompet. “Lagi pula mana sempat belanja di Centro, wong meetingnya sekarang.” Gue tetap membela diri, sambil manggut-manggut. Pertanda keseriusan gue. Keseriusan tidak punya duit.
Demi harga diri, gue memilih tidak datang ke meeting. Tetap distasiun, menunggu kereta selanjutnya untuk pulang kembali ke rumah. Kemudian mematikan ponsel, untuk menjaga keamanan agar bos gue tidak bisa menghubungi.
Gue tiba di stasiun pukul 9.30, sedangkan kereta selanjutnya untuk pulang ke rumah pukul 12.30. Waktu yang cukup lama menunggu. Gue habiskan waktu dengan membaca novel berbahasa inggris, untuk belajar dan menambah vocabulary. Ternyata otak gue, seminimal isi dompet gue. Jadi gue tidak mengerti isi novelnya. Terpaksa, menghabiskan waktu dengan menulis cerita ini.
Pada pukul  11.00, manager development gue, mengirimkan sms. Ponsel  yang gue matikan adalah untuk operasional  keseharian. Tetapi gue masih punya ponsel lainnya, yang gue gunakan untuk sebagian ponsel cadangan dan hanya diketahui oleh sebagian orang.
Dalam smsnya manager development gue berkata, “Rend, gue mau ke ambassador cari macbook dan film DVD. Tadi gue habis meeting di berca.”
“Asyik, jalan-jalan .” Pikir gue. Dan terbayang semua rencana gue yang akan menjadi kenyataan. Kita shopping. “Siap, Bos,”Jawab gue penuh semangat dan harapan.
Kemudian gue langsung berangkat ke mall ambasador. Tetapi anehnya, setelah sampai di mall ambassador. Bos gue memberikan instruksi untuk menunggunya didepan mall. Perasaan gue menjadi tidak enak. Setelah sampai, dia tidak turun dari mobil, tetapi meminta gue untuk naik kedalam mobilnya.
“Mau kemana, mas ?” Tanya gue penasaran, saat berada didalam mobil.
Bos gue tidak menuju kedalam parkiran mall ambassador, melainkan maju terus menjauhi mall. “Kita ke setiabudi building. Meeting. Setelah itu, kita ke mall ambassador.” Jawabnya enteng.
“Kadal bunting!” Sumpah serapah,  gue dalam hati. “Mas, aku pake seragam komandan kamra. Aku tunggu diluar saja.” Gue mencoba untuk bernegoisasi.
“Tenang saja. Loe kan technical leader. Pede saja.” Jawabnya, seperti melepas tanggung jawab. “Nanti loe yang persentasi.”
“Eh !!”

Sesampainya di setiabudi building, di lobby lantai dasar. Gue melihat orang-orang berbaju rapih. Berdasi dan jas. Sebernarnya gue tidak terlalu perduli, jika disana tidak dilengkapi dengan wanita-wanita cantik yang menggunakan rok mini. Memperpanjang nasib gue sebagai jomblo mania.
“Bos, gue tunggu di lobby bawah. Nanti jika benar-benar diperlukan, gue akan keatas.” Gue membuat penawaran dengan si bos.
“Oks.” Jawabnya singkat, dan kemudian dia langsung naik keatas. Tempat meeting yang berada di lantai 3, meeting room.
Gue menunggunya di lobby, menghindari menjadi pusat gossip para eksekutif dalam meeting. Selang beberapa saat, bos gue mengirimkan sms. “Rend, datang ke atas. Meetingnya mau dimulai. Loe yang persentasi.”
“Kodok bangkong.” Jawab gue dengan pikiran yang berantakan. Tanpa pikir panjang, gue langsung menuju ke tempat meeting di lantai 3. Dengan langkah gontai dan malas-malasan.
Sesampainya disana, resepsionisnya sedang tidak ada. Jadi satpam yang menggantikannya berada didepan. Dengan muka yang tidak bersahabat dia, bertanya, “ingin bertemu siapa, mas? Ada keperluan apa?” Membrondong pertanyaan, seakan-akan mengintrogasi. Wajahnya seperti bertanya, “mana kiriman barangnya?”
“Saya Rendhy, pak.” Jawab gue singkat. “Saya ada meeting dengan pak Andi. Saya sudah ada janji dengan beliau.”
Mata satpam melihat dari atas sampai bawah. Dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dari ujung kelamin sampai ujung napsu. Dan matanya terbelangak lebar, selebar pantat kuda. “Pak Andi itu, vice presiden IT, mana mungkin meeting dengan anda. Atau anda hanya kurir yang disuruh mengantar barang untuk pak Andi?”
“Setan Arab !! Gue dikira kurir.” Protes gue dalam hati. “Pak, saya ini Technical Leader. Saya yang akan persentasi.” Balas gue dengan penuh percaya diri.
“Mana mungkin, anda presentasi dengan pak Andi.” Jawabnya keras. Dia melihat penampilan gue yang seperti habis menggali jembatan bus way.
Lalu dengan segera, gue menunjukan kartu nama gue. “Ini kartu nama saya.”
Satpam itu malah membuangnya, “mana mungkin. Bisa saja, anda berbohong.”
“Minta digampar ne, satpam.” Protes gue dalam hati. “Kalau bapak tidak percaya, saya akan telepon sekarang.” Gue ambil ponsel gue. Dan gue bermaksud  menelepon bos gue. Supaya dia  bisa memberi tahukan pak Andi, kalau gue sudah ada didepan lobby.
“Tittt. Maaf. Masa aktif nomer anda sudah habis. Mohon anda isi ulang.” Cengir gue melebar di bibir gue. “Mampus gue.”
“Benarkan anda berbohong?” Dan dengan segera, si satpam sialan itu mengusir gue. Harga diri gue benar-benar ternodai, gara-gara baju terkutuk. Keperjakaan gue berakhir.

Tak lama kemudian, gue balik ke lobby. Dan bos gue sms, “Rend, loe dimana? Meeting sudah mau dimulai. Tinggal nungguin loe. Ke atas ya.”
Gue mau balas smsnya, tapi tidak punya pulsa. “The Nasib.”
Menganggap gue tidak memperhatikan sms. Bos gue mengirimkan sms yang kedua, “Rend, loe dimana?”
Rasanya, si bos  ingin gue jitak. Gue tidak punya pulsa, dia daritadi hanya kirim sms. Telepon dunk. Akhirnya dia merasa menunggu terlalu lama. Kemudian akhirnya menelpon gue. “Rend, loe gimana? Loe tidak baca sms gue?” Suaranya terdengar tinggi, menunjukan kekecewaannya.
“Saya sudah ke atas, bos.” Gue membantah.
“Kenapa tidak masuk keruang meeting?”
“Diusir satpam, bos.” Jawab gue lesu. “Gue dikira kuli bangunan.”
“Bah !!” Sahut manager development. “Piye toh, mas.”
“Ane pake seragam kenek metro mini, disuruh meeting. Lain kali, schedule jangan berubah seenaknya dunk!!”
Akhirnya gue naik ke atas. Bos gue dan pak Andi, Vice Presiden IT dari client sudah menunggu di lobby depan.
“Kenapa tidak masuk ke ruang meeting, dek?” Tanya pak Andi dengan sopan.
“Iya, pak. Saya di usir satpam, bapak.” Sambil gue menunjuk batang hidung, si satpam sialan dengan penuh rasa dendam. Si satpam hanya tersenyum tanpa dosa.
“Lain kali, jika ada tamu saya. Tolong saya dihubungi dulu. Jangan ulangi kejadian sepeti ini lagi.” Pak andi memberi peringatan kepada satpamnya. Dan sekali lagi, si satpam sialan itu, tanpa berdosa. Dia hanya tersenyum.
Kesempatan gue membalas dendam pun tiba. “Dengerin. Jangan nyengir doank!!” Sambil gue melemparkan kartu nama yang dibuangnya, ke depan kedua biji matanya. “Ni, loe makan tu kartu nama. Kampret !!”

Begitu gue masuk kedalam ruang meeting, ternyata lebih mengerikan daripada rumah hantu. Yang tidak pernah dijamah selama 15 tahun oleh setan perawan. Gue melihat eksekutif-eksekutif modis mengenakan dasi panjang dan jas, dengan rambut klimis, bau amis.
Salah satu dari mereka menghapiri gue. Hanya bermodal kartu nama dan tampang ganteng, gue menghampiri orang tersebut, penuh percaya diri. Dan akan mengajak berkenalan orang yang menghampiri gue, “nama saya, Rendhy. Saya technical leader. Ini kartu nama saya.”
Sebelum gue sempat mengucapkan kata-kata tersebut. Dia menyela terlebih dahulu, “mas, dibelakang sana, tong sampahnya penuh. tolong  Isinya dibuang.” Sambil menunjuk ke belakang ruang meeting, dipojok terdapat tong sampah kecil. Sampahnya sudah penuh sampai keluar dari tong.
“Eh ?” Sahut gue penuh dengan kebingungan. “Ada kodok bangkong, minta digampar.” Terpikir di dalam otak gue. Dia mengira, gue adalah office boy yang membersihkan ruang meeting. “Maaf, pak. Saya bukan petugas kebersihan, tapi saya technical leader. Saya yang akan persentasi.”
Satu ruang meeting, melongo.
“Oh, maaf.” Jawab orang tadi, dengan nada setengah tidak percaya. “Habis dari mana, mas?” Tanya penasaran. Matanya memperhatikan dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki.
“Tadi saya ada part timer, mas.” Jawab gue santai. “Biasa. Nyupir bajay. Buat cari tambahan”
“Hah !!”
“Kemarin di berita, ada anak tukang becak bisa jadi dokter.” Balas gue. “Saya rasa, itu bukan hal yang aneh.”
“Lulusan mana, mas ?”
“SMU.”
Satu ruang meeting saling memandang heran. Kemudian suasana dicairkan setelah bos gue dan pak Andi memasuki ruang meeting. Pertanda meeting segera dimulai.
Pria tadi berbisik kepada pak Andi, “pak, saya rasa orang yang akan persentasi tidak kompeten.”
“Kenapa anda bisa bicara seperti itu?” Tanya pak Andi dengan rasa penuh penasaran.
“Dia lulusan SMU.”
“Hah !!”
Bos gue mulai dengan perkenalan. Sehingga pembicaran pak Andi dan pria tadi, terpaksa terputus. Bos gue memperkenalkan perusahaan kami, background, sampai dengan pengalaman perusahaan. Lamanya seperti kutbah jumat. Formal dan bikin ngantuk.
Sewaktu bos gue menerangkan pengalaman perusahaan, dan menunjuk gue sebagai technical leader. Pria tadi menginterupsi, “pak, maaf. Untuk technical leader  harus s1 kan? Selain itu, apa lagi Capabilitiesnya?”
Muka bos gue langsung mengarah ke muka gue. Dengan tatapan bengis tanpa ampun, dan mungkin dalam hatinya berkata, “Si kunyuk bikin ulah apalagi?”
“Kami sangat selektif dalam memilih kandidat kami yang digunakan untuk setiap proyek, pak.” Manager development menjawabnya dengan bijaksana. “Kandidat yang kami pilih untuk technical leader, lulusan s1 dan memiliki network certificate langsung dari Santa Clara, US. Dan sekarang dia sedang melanjutkan pada jenjang s2. Kami akan memilih kandidat terbaik untuk client kami.”
Seluruh ruang tercengang mendengarkan penjelasan bos gue.
Pria tadi bertanya untuk meyakinkan, “jadi bukan supir bajay, pak?

Setelah meeting selesai. Ternyata ada intrupsi mendadak. Perjalanan ke mall ambassador di tunda. Bos gue mengajak gue makan siang di senayan city dengan vendor yang menjadi rekanan perusahaan. Dari pintu depan senayan city, sudah terlihat orang-orang dengan busana mentereng.
Sewaktu kita turun dari mobil. Supir bos gue salah parkir, untuk menurun kami, didepan pintu utama. sehingga mobil lain tidak bisa lewat. Karena jalur sebelahnya tertutup. salah satu satpam menegur kami. Dia datang menghampiri gue, “mas, tolong mobilnya dipinggirkan.”
“Maaf, pak.” Balas gue. “Supirnya ada didalam mobil.”

Tidak hanya sampai disitu, penderitaan gue. Di depan  pintu masuk kedalam senayan city, ada SPG yang menawarkan parfum. SPG cantik berbaju putih, minim dengan rok mini tanpa stoking. Setiap orang yang masuk melewati pintu itu, SPG itu menawarkan parfum yang dijualnya. Dia menawarkan parfumnya pada bos gue. SPG itu, melihat gue. Dan gue pun membalasnya dengan  senyum. SPG itu malah membuang mukanya. “Gila, sampai SPG nolak gue!!”
Dalam senayan city, disetiap pintu masuk selalu ada pemeriksaan barang yang masuk yang dibawa oleh pengunjung. Bos gue membawa tas kantor yang berisi laptop untuk persentasi. Setelah petugas selesai memeriksa tas si bos. Petugas itu tidak memberikan tas kepada bos gue. Melainkan memberikanya kepada gue. “Mas, ini tas bapak. Tolong dipegang.”
“Anjritt. Gue dikira pembokat.”

Kadang kita tidak memperhatikan penampilan kita. Padahal dalam penilaian orang, pertama kali adalah pada penampilan. Jika kita ingin dilihat seperti manager atau pejabat, bergaya dan berbusana seperti pejabat. Maka orang akan melihat kita pertama kali, seperti pejabat. Ataupun kita ingin dianggap dari kalangan selebritis, maka kita hanya menggubah penampilan seperti selebritis, yang serba glamoor. Orang pasti akan melihat kita serba glamoor.
Bahkan pencopet pun, dapat di anggap seperti orang kantoran. Dikarenakan dia berbusana seperti orang kantoran. Padahal dia hanya ingin mengambil dompet dimetro mini.
Jika kita mempunyai sebuah tulisan yang bagus ataupun layak dibaca. Dan dapat membuat inspirasi jutaan orang. Tetapi jika cover buku itu, tidak menarik dan tidak dilengkapi synopsis cerita yang baik. Tidak akan ada orang yang tertarik untuk membaca buku itu. Walau sebaik apapun isinya. Don’t read a book by the cover. But the cover is very important.

Senin, 04 Juli 2011

Kado Buat Ira


“Diri mu, satu yang ku mau. Tak kan lagi ada selain dirimu. Cinta suci hanyalah untuk mu. Kaulah kasih, dambaan ku... “ Fandi mendendangkan lagu stinky sambil memainkan gitar didepan halaman rumah Arfan. Nyanyian Fandi membuat hati Nila tersantet asmara. Dimata nila, saat itu hanya ada hujan bunga yang bertaburan dari langit.
Gue ga ngerti. Padahal suara Fandi cukup sumbang untuk didengar. Mirip anak kampret sedang melahirkan. Tapi membuat Nila, sungguh terpersona. Hal yang paling membingungkan dari wanita. Mereka semua tau, cowo itu seperti musang dan lidah mereka berbisa. Penuh rayuan maut pembawa derita, tapi cewe suka. Wanita bilang dimulut itu gombal tetapi dihati mereka terpanah racun asmara.
“Sst,... “ Seru Afran. “Jangan banyak bergerak, BEGO!! Nanti kita ketahuan.”
“Gue nutup hidung, kentut loe bauu,.. “ Balas Tanto.
Gue, afran, dan tanto. Kita sedang mengintip dari ruang tamu rumah Arfan, yang berhadapan dengan halaman depan, dimana Fandi sedang membacakan matra ajaibnya untuk merayu Nila. Dan akhir kejadian dihalaman depan rumah Arfan, terjadi kecelakan yang sangat tragis dan menyedihkan. Kecelakaan yang diluar dugaan, gue, Arfan dan Tanto. Sebuah tabrakann... !!
Sungguh menyedihkan, sebuah tabrakan. Ada tabrakan bergairah. Fandi ciuman dengan Nila. Ciuman depan kita bertiga. Dan kita bertiga jombless..

Nama gue, Rendhy Rindra Wardhana.
Fandi memberikan hadiah untuk Nila berupa lagu. Dan akhirnya mereka jadian. Arfan membuat animasi sederhana untuk vivi. Tanto cuma puisi dicampur goyang india untuk tantri. Apa yang bisa gue berikan apa buat ira ???
“Tan, kira-kira valentine nanti, gue mau kasih apa ya, buat ira??” Tanya gue. Sambil mendengar Fandi memainkan gitar klasik didepan rumah Arfan. Basecamp saat gue dulu SMA, didepan rumah Arfan. Kita sering nongkrong dihalaman depan rumah Arfan, sambil rumpie dan main gitar. Biasalah anak muda bokeee, mau nongkrong dicaffee ga punya dana, beli es cendol aja, harus nabung seminggu.
“Behhh,.. Gue tau, men!!” Potong Arfan.
“Apann ??”
“Loe kasih bunga, boneka ma coklat, sob.”
“Berapa duit??”
“Sekitar 75ribu..”
“Anjritt !!”
Uang tabungan gue sebulan waktu itu, dikumpulin cuma bisa dapat 15 ribu. Buat beli bunga, boneka ma coklat seharga 75 ribu, dapat duit darimana gue. Bisa ke sekolah naik sepeda. Itu aja gue ke sekolah naik kereta ga pernah bayar, sampai terkadang gue dikerjar-kerjar ma tukang karcis.
“Mang ga ada kado yang lain, sob??” Tanya gue serius. “Yang murah meriah tapi berharga.”
“Waduh apa ya, sob??” Balas Arfan bingung.
“Bisa, ren.” Potong Fandi.
“Caranya ??”
“Sama kaya gue aja. “ Jelas Fandi. “Cukup dengan skill yang loe punya. Gue aja cuma main gitar dan motor vespa.  Nila mau ma gue”.
“Iya, juga ya.. “ Pikir gue.

“Apa yang gue bisa ya?” Pikir gue serius. “Hmm,..”

Dirumah gue ada organ. Gue akan main organ didepan ira. Gue akan main lagu-lagu klasik yang romantis. Yang bikin hati ira naik turun. Gue akan mainkan lagunya Ludwig van Beethoven. Atau My Heart Will Go On yang dimaikan Kenny G. Dengan senyum terurai dan cengir pepsoden membayangkan ira mati muda, mendengarkan gue mendendangkan lagu-lagu tersebut.

                Gue mulai membuka-buka buku piano nada lagu Beethoven dan akhirnya gue dapat judul lagu dan siap memainkan lagu-lagu Beethoven yang membuat ira klepek-klepek. Symphony No. 5 in C Minor, readyy..

                Gue buka tuts-tuts orgen gue dan,.....

              “Busyettt... Apaan ne??” Gue melihat note balok, cuma terlihat seperti pentol korek yang naik turun, enggak jelas.  “Mati gue,.. Beethoven batal berdendang.”

                “Waduuuhh !!”

Akhirnya gue coba untuk mencari buku-buku yang ada note angkanya. Sekitar setengah jam kemudian akhirnya gue mendapatkan buku yang ada note angkanya.
“Akhirnya” Seru gue lega.
Dan akan memulai memainkan lagu dengan judul Ambilkan Bulan, Bu. Derajat gue turun dah, didepan ira. Sesaat gue akan menekan tuts-tuts orgen, gue baru sadar yang tuts ke 4, terus 3, terus 1. “Yang mana ya?”
“Mampus gue !!”
Pada akhirnya semua tuts orgen, gue tempel angka-angka note.

Setelah seminggu belajar bermain organ, dengan pede gue telpon semua temen-temen, dan meminta mereka kumpul dirumah Fandi. Karena dirumah Fandi ada piano yang besar sekali, ruangannya pun sengaja dibuat tersendiri luas seperti kandang badak jawa.
“Kenapa broo?” Tanya Tanto.
“Sesuai dengan idenya Fandi. Gue mau main piano didepan Ira.”
“Anjriittttttt,.. Keren banget loe, sob.” Tanto terkejut.
“Mantapsssss.” Seru temen-temen gue bangga.
“Itu baru temen gue, ren” Sahut Arfan. “Selamat ya, ren..” Kemudian temen-temen gue satu persatu memberi selamat dan menyalami gue. “Bocah gemblung(gila), diterima aja belum, udah dikasih selamat.”
“Gila, keren banget, sob” Seru Tanto. “Main lagu apa?”
Symphony No. 6 in F Major.” Balas Arfan.
“Bukan.”
“Overture Leonore no. 1.”
“Bukan.”
Fantasien.”
“My Heart Will Go On.”
“Bukan juga,..”
“Terus apaan dunk?”
“Ambilkan bulan, bu”
“Ah, GOBLOK”
“Yang bener aja, ren. Loe mau main lagu gituan depan ira?” Protes Fandi. “Pake otak dikit, ren.”
“Kaga, sob.” Bantah gue sambil bersiap-siap untuk memainkan musik di piano milik Fandi. “Inikan cuma baru test drive.”
“Ne dengerin lagunya” Gue akan memainkan lagu Ambilkan Bulan, Bu. Gue sangat sadar klo gue sangat berbakat dalam memainkan piano.  Beethoven memainkan lagu Symphony No. 6 in F Major dengan 10 jari, Fandi memainkan lagu Fantasien dengan 11 jari di pianonya. Dan gue, mahluk yang sangat berbakat dan sensasional memainkan piano dengan lagu Ambilkan Bulan Bu dengan satu jari. Luar biasa bukan?
“Fan,..”  
“Iya,.. “
“Piano loe kok,  enggak ada angka tutsnya ??”

 Akhirnya gue batal main piano didepan Ira. Tapi bukan berarti gue menyerah begitu saja. Gue orang yang mempunyai pendirian dan kemauan yang sangat keras. Jadi gue harus bisa melakukan, yang gue mau. Tetapi apalagi yang bisa gue lakukan?
“Ya, Tuhan. Jika Ira jodohku, mudahkanlah, Lancarkanlah. Tetapi jika Ira bukan jodohku, maka jodohkanlah. Amin!!” Pinta gue agar usaha dilancarkan. Tak lama kemudian, ide pun datang, seperti dukun beranak menerima wangsit.
Ide itu datang dari dunia yang gelap, seolah-olah terang dengan lampu oh seram. Gue tau, gue akan memainkan lagu dengan gitar. Sama seperti yang Fandi lakukan. Beribu-ribu ide memainkan lagu langsung datang ke kepala gue, dari lagunya caffeine, jikustik sampai dengan lagunya white lion.
Tapi yang jadi masalah adalah gue enggak punya gitar.
“Papa sama Mama mau ke bintaro plaza. Mas, mau ikut?” Tiba-tiba bokap gue, nongol di depan pintu. Pucuk tiba, ula di cinta. Ternyata hari ini gue beruntung banget.
Setiba gue di bintaro plaza, seperti biasa tempat favorit gue dan nyokap gue adalah gramedia. Di lantai bagian bawah gramedia, menjual alat-alat musik cukup lengkap dari gitar akustik sampai gitar listrik, tidak cuma itu disana juga di jual alat-alat fitness. Sambil berdiri di eltase bagian gitar-gitar gue menunggu bokap gue.
“Pa, gitarnya bagus-bagus ya.. “ Saat bokap gue tiba disamping gue.
“Iya, mas. Klo enggak bagus, ga dijual.”
“Ya, papa. Orang gila juga tau.” Sahut gue dalam hati.
“Pa, aku mau belajar main gitar.” Pinta gue. “Temen-temen aku pada jago main gitar.”
“Boleh. Pinjem aja gitarnya, Fandi.”
“Bussyeett.”
“Pa, masa pake gitarnya Fandi.” Rengek gue “Pa, mau gitar dunk.”
“Kamu yakin mau belajar main gitar, mas?” Tanya papa serius.
“Iya, pa. Mau.”
“Nih, pake ini aja.” Papa memberikan gitar kuntet alias okulele. “Kalau mau belajar, dimulai dari yang kecil-kecil dan yang simple dahulu”
“Pa !!” Protes gue “Yang bener aja, masa gitar ginian, ini mah okulele.”
Gue enggak kebayang, klo gue harus main okulele didepan Ira. Bisa-bisa setelah dia dengar gue nyanyi, gue dikasih duit seribuan atau syukur-syukur enggak diludahin ma dia.
“Pa, aku maunya yang ini.” Gue menunjuk gitar dengan harga sekitar 500ribuan. Membuat mata papa terbuka lebar.Selebar pantat botol.  Mungkin dalam hatinya dia bilang “Busyettt. Mahal amat”
“Enggak” Sahut papa.
“Pa, aku mau gitarrr… “
“Ada apa ini ??” Sahut Mama. Rupanya dia sudah kembali  dari kasir. Seperti biasa, Mama paling suka membeli buku saat di gramedia. Apalagi setelah dia selesai membaca satu buku, dia akan kembali ke gramedia dan membeli buku lagi.
“Ini, Ma. Mas Rindra minta dibelikan gitar.” Jawab Papa. Dirumah orang rumah biasa memanggil nama gue dengan nama Rindra. Semua keluarga besar gue juga memanggil nama gue dengan nama Rindra, kecuali diluar keluarga, gue biasa dipanggil Rendhy.
“Kamu yakin mau belajar main gitar?” Tanya Mama serius untuk memastikan.
“Serius, ma” Jawab gue dengan muka meyakinkan.
Pada akhirnya orang tua gue mau membelikan gitar. Walaupun yang dibeli bukan yang sesuai dengan yang gue mau, tetapi biarlah. Yang penting gue punya gitar yang siap gue mainkan.
Sewaktu digramedia gue sudah membeli beberapa buku belajar main gitar lengkap dengan kunci dan lagu-lagu yang ada kunci gitarnya. Zaman dahulu beda dengan sekarang. Kalau sekarang kunci-kunci gitar banyak di internet, tinggal search mau lagu apa yang kita mau. Tapi kalau dulu, zaman gue smu. Setiap mau lagu yang ada kunci gitarnya, harus beli buku yang ada kunci-kunci gitarnya. Kadang yang kita butuh hanya satu lagu tapi yang dibeli satu buku. Begitu juga dengan gue. Jadi terpaksa membeli beberapa buku.
Gue mulai dengan usaha yang pertama, gigi dengan lagu terbang. Stinky dengan lagu mungkinkah, cinta suci sampai dengan lagu dewa 19, dari yang lawas sampai dengan yang terbaru. Semuanya enggak ada yang bisa. Suara mirip tempayan sember.
Padahal gue sudah latihan main gitar selama satu minggu, tetapi tetap tidak ada hasilnya. Dan valentine tinggal dua hari lagi. Gue masih belum menguasai satu lagu pun.
“Tok, tok,.. “ Suara ketukan dari pintu kamar gue.
“Mas, klo main gitar suara-nya pelanin. Mama pusing dengarnya. Tau gitu Mama enggak beli’in kamu gitar deh.” Omel Mama.
“Jiahhhhh,.. Emak gue aja, bilang gitu. Apalagi Ira. Mules dehhh.”
Gue coba telpon Fandi. Siapa tau dia punya ide yang bagus. Gue sudah mulai pasrah.  Gue tidak mau rencana untuk memberikan kado valentine buat Ira batal. Tapi gue juga enggak tau, musti melakukan apalagi.
“Fan,.” Sahut gue ditelepon.
“Yups, Ren”
“Gue udah beli gitar”
“Sedappp,.. “ Jawab Fandi bergairah. “Gimana sudah bisa main gitar?”
“Belum, Fan. Susah,.. “
“Yah !!” Fandi pasrah. “Kalau gitu, loe beli bunga ma coklat pinggir jalan aja. Paling 20 ribu. Pelit amat se, loe..”
“Itu dia, Fan.” Balas gue. “Utang loe yang 20 ribu mana?”
“Yahh,.. Klo menurut gue loe jangan beli bunga ma coklat, Ren. Apalagi loe beli dipinggir jalan. Malu, Ren” Fandi ngeles. “Apalagi yang harganya 20 ribuan.”
“Terus apa dunk ??”
“Cari sesuatu yang paling loe bisa. Yang paling loe bisa lakukan aja, Ren. Jangan yang lain!!”
“Gue da belajar main gitar selama seminggu, Fan. Tapi masih tetap enggak bisa-bisa”
“Masa??” Fandi heran. “Gue aja belajar main gitar cuma butuh waktu 3 hari.”
“Iya, Fan. Suara gitar gue, sember banget. Gue minta sama bokap dibeli’in gitar yang harganya 550 ribu, dibeli’in yang harganya 110 ribu. Mana bisa bagus?”
“Harusnya seh, enggak pengaruh. Dulu gitar gue cuma 85 ribu beli di taman puring.” Fandi heran. “Gitarnya, sewaktu loe beli, sudah loe stem?”
“Stem?? Apaan tuh? Belum.”
“Ah, BEGO”

Pikiran gue mulai menerawang diatas pulau kapuk. Memikirkan apa yang dikatakan Fandi. “Cari yang paling bisa loe lakukan. Tapi apa???” Gue berharap ada wangsit yang jatuh di kepala gue. Asal jangan biji kelapa aja, bisa benjol.
“Ya, Tuhan mudahkanlah aku dan percerdaslah pengetahuanku, Tolonglah aku. Udah urgen Tuhan.”
Mata gue tidak sengaja melihat sabuk merah yang ada dilemari kaca kamar gue. Kepala gue mulai terpikir dengan pencak silat. Dulu sewaktu SMP, gue pernah ikut pencak silat. “Hmm,.. “ Otak gue mulai ada ide brilian. Gue pernah ikut pencak silat sampai sabuk merah. Kerenkan?
Kenapa gue enggak menunjukan jurus-jurus silat gue yang spektakuler. Yang bisa membuat Ira berkesan. Gue akan menunjukan jurus-jurus silat dan kemudian melakukan tendangan dengan 3 roka’at, bukan tapi dengan 7 roka’at. Selanjutnya,... Otak gue mulai buntu.
“Selanjutnya,.. Selanjutnya,.. Selanjutnya,..”
Selanjutnya kepala nya Ira, gue tendang. Dan selanjutnya, besok gue dibunuh ma bapaknya. Bagus!! Ide gue mulai ngelantur enggak karuan.
Akhirnya gue kepikiran dengan menulis. Gue suka sekali dengan menulis. Karena gue suka berkhayal kemudian gue tulis ataupun menulis buku harian. Gue tulis mirip dengan buku mini biografi. Tapi masalah selanjutnya, “Apa yang harus gue tulis?”
Gue tau! Gue akan tulis ceritanya Khalil Gibran. Ira pasti akan jatuh bangun goyang dombret baca tulisan gue. Kemudian gue ambil buku Khilil Gibran dan siap untuk menulisnya. Gue buka buku setebal 850 halaman. Tapi gue harus nulis buku setebal 850 halaman? Yang bener aja. Mendingan sekalian gue beli’in bukunya.
Terus idenya apa dunk? Otak gue buntu. “Aggghhhhhhh,… !”

Selasa siang, langit sudah terlihat menedung sekali. Pertanda hujan akan segera tiba. Apakah ini pertanda valentine kelabu? Seperti biasa gue menunggu Ira di depan masjid agung ciputat. Yang bersebelahan dengan loper Koran.
Ira biasa turun dari mobil angkutan jurusan pondok labu ciputat, sekitar jam 2 siang. Gue selalu menunggu dia didepan masjid agung untuk pulang bersama. Valentine kali ini, gue akhirnya menyiapkan kado yang special untuk dia. Yaitu cerpen, yang gue tulis sendiri. Gue simpan dalam amplop berwarna merah hati dan di depan amplopnya ada gambar hati yang sangat manis sekali.
Gue lihat Ira, turun dari angkutan umum jurusan ciputat – pondok labu. Yang kemudian dia akan berjalan ke halte selanjutnya untuk meneruskan naik angkutan Dela alias D08, jurusan ciputat BSD. Rumah gue dan Ira berdekatan, kita sama-sama tinggal di bintaro. Tapi kita tidak bertetangga. Dia tinggal di daerah bintaro yang lebih elite.
Gue biasa menunggunya untuk pulang bareng dengan Ira. Tetapi tidak jauh dari halte tempat Ira turun. Ada mobil BMW, yang sering gue lihat menjemput Ira. Mobil BMW itu sering sekali mengantar jemput Ira. Mengajaknya ke tempat makan yang enak dan ke caffee- caffee yang mewah. Sedangkan gue, cuma bisa nunggu lra di depan masjid, naik angkutan. Gue enggak bisa kasih dia apa-apa. Mau beli coklat sama bunga aja, gue harus nagih hutangnya Fandi. Dan kado yang mampu gue kasih, cuma cerpen.
Hujan pun mulai turun. Gue lihat Ira, masih berada disamping mobil BMW. Seperti sedang ada yang dibicarakan. Dan gue yakin, Ira pasti mau diantar pulang sama mobil BMW itu. Dan sekarang valentine, pasti dia dapat kado yang lebih baik dari kado gue.
Dan gue pun, akhirnya pergi menuju halte untuk menunggu mobil angkutan D08, jurusan Ciputat BSB dan saat itu hujan sudah tiba. Rintik-rintik membasahi baju gue, mirp seperti rintik-rintik yang membasahi hati gue. “Buat apa, gue tunggu. Ira pasti sudah naik mobil BMW. Kalau pergi dengan gue, pasti kehujanan.”
“Rendhy.. “
“Ira.. “ Sahut gue terkejut. Sambil membalikan badan.
“Lho!! Loe enggak jadi pulang bareng sama mobil tadi?”
“Enggak.” Balasnya sambil berlari, hujan mulai membasahi kami cukup deras.
“Kan hujan??”
“Iya, kan mau pulang sama Rendhy.”
Tiba-tiba seisi alam dan waktu berenti. Tidak ada satupun mahluk yang bergerak. Dan kemudian  ada yang menampar muka gue dengan keras. Serasa digaplok jin.
“Yakin??”
“Iya..”
Gue enggak punya jaket ataupun payung untuk melindungi Ira dari air hujan. Gue cuma punya kedua tangan gue. Yang gue gunakan untuk menutupi kepala Ira dari air hujan. Sedangkan kepala gue kehujanan. Cuma ini yang bisa gue lakukan.
“Gue janji, ra. Suatu saat gue pasti bisa ngelindungi loe, lebih dari ini.”
“Jiahhh. Hujan-hujan gini, dia mabok”
Mobil D08 pun tiba di halte. Gue dan Ira naik mobil D08. Kita duduk bersampingan. Dibagian belakang mobil type suzuki carry.
“Ra, gue punya kado valentine buat loe.”
Dia memandang gue dengan curiga.
“Ne.. “ Gue memberikan amplop pink tersebut.
“Surat cinta??”
“Bukan”
“Apaan?”
“Tagihan telpon.”
“Yang bener aja.” Ira protes. “Loe aja yang bayar!!”
“Bukan cerpen.”
“Hah” Sahut Ira terkejut “Gue baca ya..”
Sepanjang jalan Ira membaca cerpen yang gue tulis. Gue melihat dia tertawa, saat membaca cerpennya. Senangnya gue saat ini. Dan setelah Ira selesai membaca cerpen. Dia hanya sedikit komentar.
“Rendhy, loe gokill !!”

Temen- temen tahu, cerpen apa yang gue tulis buat Ira? Cerpen yang gue tulis dari atas sampai bawah, yang teman-teman baca tadi. Itu yang gue tulis buat Ira.