“Diri mu, satu yang ku mau. Tak kan lagi ada selain dirimu. Cinta suci hanyalah untuk mu. Kaulah kasih, dambaan ku... “ Fandi mendendangkan lagu stinky sambil memainkan gitar didepan halaman rumah Arfan. Nyanyian Fandi membuat hati Nila tersantet asmara. Dimata nila, saat itu hanya ada hujan bunga yang bertaburan dari langit.
Gue ga ngerti. Padahal suara Fandi cukup sumbang untuk didengar. Mirip anak kampret sedang melahirkan. Tapi membuat Nila, sungguh terpersona. Hal yang paling membingungkan dari wanita. Mereka semua tau, cowo itu seperti musang dan lidah mereka berbisa. Penuh rayuan maut pembawa derita, tapi cewe suka. Wanita bilang dimulut itu gombal tetapi dihati mereka terpanah racun asmara.
“Sst,... “ Seru Afran. “Jangan banyak bergerak, BEGO!! Nanti kita ketahuan.”
“Gue nutup hidung, kentut loe bauu,.. “ Balas Tanto.
Gue, afran, dan tanto. Kita sedang mengintip dari ruang tamu rumah Arfan, yang berhadapan dengan halaman depan, dimana Fandi sedang membacakan matra ajaibnya untuk merayu Nila. Dan akhir kejadian dihalaman depan rumah Arfan, terjadi kecelakan yang sangat tragis dan menyedihkan. Kecelakaan yang diluar dugaan, gue, Arfan dan Tanto. Sebuah tabrakann... !!
Sungguh menyedihkan, sebuah tabrakan. Ada tabrakan bergairah. Fandi ciuman dengan Nila. Ciuman depan kita bertiga. Dan kita bertiga jombless..
Nama gue, Rendhy Rindra Wardhana.
Fandi memberikan hadiah untuk Nila berupa lagu. Dan akhirnya mereka jadian. Arfan membuat animasi sederhana untuk vivi. Tanto cuma puisi dicampur goyang india untuk tantri. Apa yang bisa gue berikan apa buat ira ???
“Tan, kira-kira valentine nanti, gue mau kasih apa ya, buat ira??” Tanya gue. Sambil mendengar Fandi memainkan gitar klasik didepan rumah Arfan. Basecamp saat gue dulu SMA, didepan rumah Arfan. Kita sering nongkrong dihalaman depan rumah Arfan, sambil rumpie dan main gitar. Biasalah anak muda bokeee, mau nongkrong dicaffee ga punya dana, beli es cendol aja, harus nabung seminggu.
“Behhh,.. Gue tau, men!!” Potong Arfan.
“Apann ??”
“Loe kasih bunga, boneka ma coklat, sob.”
“Berapa duit??”
“Sekitar 75ribu..”
“Anjritt !!”
Uang tabungan gue sebulan waktu itu, dikumpulin cuma bisa dapat 15 ribu. Buat beli bunga, boneka ma coklat seharga 75 ribu, dapat duit darimana gue. Bisa ke sekolah naik sepeda. Itu aja gue ke sekolah naik kereta ga pernah bayar, sampai terkadang gue dikerjar-kerjar ma tukang karcis.
“Mang ga ada kado yang lain, sob??” Tanya gue serius. “Yang murah meriah tapi berharga.”
“Waduh apa ya, sob??” Balas Arfan bingung.
“Bisa, ren.” Potong Fandi.
“Caranya ??”
“Sama kaya gue aja. “ Jelas Fandi. “Cukup dengan skill yang loe punya. Gue aja cuma main gitar dan motor vespa. Nila mau ma gue”.
“Iya, juga ya.. “ Pikir gue.
“Apa yang gue bisa ya?” Pikir gue serius. “Hmm,..”
Dirumah gue ada organ. Gue akan main organ didepan ira. Gue akan main lagu-lagu klasik yang romantis. Yang bikin hati ira naik turun. Gue akan mainkan lagunya Ludwig van Beethoven. Atau My Heart Will Go On yang dimaikan Kenny G. Dengan senyum terurai dan cengir pepsoden membayangkan ira mati muda, mendengarkan gue mendendangkan lagu-lagu tersebut.
Gue mulai membuka-buka buku piano nada lagu Beethoven dan akhirnya gue dapat judul lagu dan siap memainkan lagu-lagu Beethoven yang membuat ira klepek-klepek. Symphony No. 5 in C Minor, readyy..
Gue buka tuts-tuts orgen gue dan,.....
“Busyettt... Apaan ne??” Gue melihat note balok, cuma terlihat seperti pentol korek yang naik turun, enggak jelas. “Mati gue,.. Beethoven batal berdendang.”
“Waduuuhh !!”
Akhirnya gue coba untuk mencari buku-buku yang ada note angkanya. Sekitar setengah jam kemudian akhirnya gue mendapatkan buku yang ada note angkanya.
“Akhirnya” Seru gue lega.
Dan akan memulai memainkan lagu dengan judul ‘Ambilkan Bulan, Bu’. Derajat gue turun dah, didepan ira. Sesaat gue akan menekan tuts-tuts orgen, gue baru sadar yang tuts ke 4, terus 3, terus 1. “Yang mana ya?”
“Mampus gue !!”
Pada akhirnya semua tuts orgen, gue tempel angka-angka note.
Setelah seminggu belajar bermain organ, dengan pede gue telpon semua temen-temen, dan meminta mereka kumpul dirumah Fandi. Karena dirumah Fandi ada piano yang besar sekali, ruangannya pun sengaja dibuat tersendiri luas seperti kandang badak jawa.
“Kenapa broo?” Tanya Tanto.
“Sesuai dengan idenya Fandi. Gue mau main piano didepan Ira.”
“Anjriittttttt,.. Keren banget loe, sob.” Tanto terkejut.
“Mantapsssss.” Seru temen-temen gue bangga.
“Itu baru temen gue, ren” Sahut Arfan. “Selamat ya, ren..” Kemudian temen-temen gue satu persatu memberi selamat dan menyalami gue. “Bocah gemblung(gila), diterima aja belum, udah dikasih selamat.”
“Gila, keren banget, sob” Seru Tanto. “Main lagu apa?”
“Symphony No. 6 in F Major.” Balas Arfan.
“Bukan.”
“Overture Leonore no. 1.”
“Bukan.”
“Fantasien.”
“My Heart Will Go On.”
“Bukan juga,..”
“Terus apaan dunk?”
“Ambilkan bulan, bu”
“Ah, GOBLOK”
“Yang bener aja, ren. Loe mau main lagu gituan depan ira?” Protes Fandi. “Pake otak dikit, ren.”
“Kaga, sob.” Bantah gue sambil bersiap-siap untuk memainkan musik di piano milik Fandi. “Inikan cuma baru test drive.”
“Ne dengerin lagunya” Gue akan memainkan lagu Ambilkan Bulan, Bu. Gue sangat sadar klo gue sangat berbakat dalam memainkan piano. Beethoven memainkan lagu Symphony No. 6 in F Major dengan 10 jari, Fandi memainkan lagu Fantasien dengan 11 jari di pianonya. Dan gue, mahluk yang sangat berbakat dan sensasional memainkan piano dengan lagu Ambilkan Bulan Bu dengan satu jari. Luar biasa bukan?
“Fan,..”
“Iya,.. “
“Piano loe kok, enggak ada angka tutsnya ??”
Akhirnya gue batal main piano didepan Ira. Tapi bukan berarti gue menyerah begitu saja. Gue orang yang mempunyai pendirian dan kemauan yang sangat keras. Jadi gue harus bisa melakukan, yang gue mau. Tetapi apalagi yang bisa gue lakukan?
“Ya, Tuhan. Jika Ira jodohku, mudahkanlah, Lancarkanlah. Tetapi jika Ira bukan jodohku, maka jodohkanlah. Amin!!” Pinta gue agar usaha dilancarkan. Tak lama kemudian, ide pun datang, seperti dukun beranak menerima wangsit.
Ide itu datang dari dunia yang gelap, seolah-olah terang dengan lampu oh seram. Gue tau, gue akan memainkan lagu dengan gitar. Sama seperti yang Fandi lakukan. Beribu-ribu ide memainkan lagu langsung datang ke kepala gue, dari lagunya caffeine, jikustik sampai dengan lagunya white lion.
Tapi yang jadi masalah adalah gue enggak punya gitar.
“Papa sama Mama mau ke bintaro plaza. Mas, mau ikut?” Tiba-tiba bokap gue, nongol di depan pintu. Pucuk tiba, ula di cinta. Ternyata hari ini gue beruntung banget.
Setiba gue di bintaro plaza, seperti biasa tempat favorit gue dan nyokap gue adalah gramedia. Di lantai bagian bawah gramedia, menjual alat-alat musik cukup lengkap dari gitar akustik sampai gitar listrik, tidak cuma itu disana juga di jual alat-alat fitness. Sambil berdiri di eltase bagian gitar-gitar gue menunggu bokap gue.
“Pa, gitarnya bagus-bagus ya.. “ Saat bokap gue tiba disamping gue.
“Iya, mas. Klo enggak bagus, ga dijual.”
“Ya, papa. Orang gila juga tau.” Sahut gue dalam hati.
“Pa, aku mau belajar main gitar.” Pinta gue. “Temen-temen aku pada jago main gitar.”
“Boleh. Pinjem aja gitarnya, Fandi.”
“Bussyeett.”
“Pa, masa pake gitarnya Fandi.” Rengek gue “Pa, mau gitar dunk.”
“Kamu yakin mau belajar main gitar, mas?” Tanya papa serius.
“Iya, pa. Mau.”
“Nih, pake ini aja.” Papa memberikan gitar kuntet alias okulele. “Kalau mau belajar, dimulai dari yang kecil-kecil dan yang simple dahulu”
“Pa !!” Protes gue “Yang bener aja, masa gitar ginian, ini mah okulele.”
Gue enggak kebayang, klo gue harus main okulele didepan Ira. Bisa-bisa setelah dia dengar gue nyanyi, gue dikasih duit seribuan atau syukur-syukur enggak diludahin ma dia.
“Pa, aku maunya yang ini.” Gue menunjuk gitar dengan harga sekitar 500ribuan. Membuat mata papa terbuka lebar.Selebar pantat botol. Mungkin dalam hatinya dia bilang “Busyettt. Mahal amat”
“Enggak” Sahut papa.
“Pa, aku mau gitarrr… “
“Ada apa ini ??” Sahut Mama. Rupanya dia sudah kembali dari kasir. Seperti biasa, Mama paling suka membeli buku saat di gramedia. Apalagi setelah dia selesai membaca satu buku, dia akan kembali ke gramedia dan membeli buku lagi.
“Ini, Ma. Mas Rindra minta dibelikan gitar.” Jawab Papa. Dirumah orang rumah biasa memanggil nama gue dengan nama Rindra. Semua keluarga besar gue juga memanggil nama gue dengan nama Rindra, kecuali diluar keluarga, gue biasa dipanggil Rendhy.
“Kamu yakin mau belajar main gitar?” Tanya Mama serius untuk memastikan.
“Serius, ma” Jawab gue dengan muka meyakinkan.
Pada akhirnya orang tua gue mau membelikan gitar. Walaupun yang dibeli bukan yang sesuai dengan yang gue mau, tetapi biarlah. Yang penting gue punya gitar yang siap gue mainkan.
Sewaktu digramedia gue sudah membeli beberapa buku belajar main gitar lengkap dengan kunci dan lagu-lagu yang ada kunci gitarnya. Zaman dahulu beda dengan sekarang. Kalau sekarang kunci-kunci gitar banyak di internet, tinggal search mau lagu apa yang kita mau. Tapi kalau dulu, zaman gue smu. Setiap mau lagu yang ada kunci gitarnya, harus beli buku yang ada kunci-kunci gitarnya. Kadang yang kita butuh hanya satu lagu tapi yang dibeli satu buku. Begitu juga dengan gue. Jadi terpaksa membeli beberapa buku.
Gue mulai dengan usaha yang pertama, gigi dengan lagu terbang. Stinky dengan lagu mungkinkah, cinta suci sampai dengan lagu dewa 19, dari yang lawas sampai dengan yang terbaru. Semuanya enggak ada yang bisa. Suara mirip tempayan sember.
Padahal gue sudah latihan main gitar selama satu minggu, tetapi tetap tidak ada hasilnya. Dan valentine tinggal dua hari lagi. Gue masih belum menguasai satu lagu pun.
“Tok, tok,.. “ Suara ketukan dari pintu kamar gue.
“Mas, klo main gitar suara-nya pelanin. Mama pusing dengarnya. Tau gitu Mama enggak beli’in kamu gitar deh.” Omel Mama.
“Jiahhhhh,.. Emak gue aja, bilang gitu. Apalagi Ira. Mules dehhh.”
Gue coba telpon Fandi. Siapa tau dia punya ide yang bagus. Gue sudah mulai pasrah. Gue tidak mau rencana untuk memberikan kado valentine buat Ira batal. Tapi gue juga enggak tau, musti melakukan apalagi.
“Fan,.” Sahut gue ditelepon.
“Yups, Ren”
“Gue udah beli gitar”
“Sedappp,.. “ Jawab Fandi bergairah. “Gimana sudah bisa main gitar?”
“Belum, Fan. Susah,.. “
“Yah !!” Fandi pasrah. “Kalau gitu, loe beli bunga ma coklat pinggir jalan aja. Paling 20 ribu. Pelit amat se, loe..”
“Itu dia, Fan.” Balas gue. “Utang loe yang 20 ribu mana?”
“Yahh,.. Klo menurut gue loe jangan beli bunga ma coklat, Ren. Apalagi loe beli dipinggir jalan. Malu, Ren” Fandi ngeles. “Apalagi yang harganya 20 ribuan.”
“Terus apa dunk ??”
“Cari sesuatu yang paling loe bisa. Yang paling loe bisa lakukan aja, Ren. Jangan yang lain!!”
“Gue da belajar main gitar selama seminggu, Fan. Tapi masih tetap enggak bisa-bisa”
“Masa??” Fandi heran. “Gue aja belajar main gitar cuma butuh waktu 3 hari.”
“Iya, Fan. Suara gitar gue, sember banget. Gue minta sama bokap dibeli’in gitar yang harganya 550 ribu, dibeli’in yang harganya 110 ribu. Mana bisa bagus?”
“Harusnya seh, enggak pengaruh. Dulu gitar gue cuma 85 ribu beli di taman puring.” Fandi heran. “Gitarnya, sewaktu loe beli, sudah loe stem?”
“Stem?? Apaan tuh? Belum.”
“Ah, BEGO”
Pikiran gue mulai menerawang diatas pulau kapuk. Memikirkan apa yang dikatakan Fandi. “Cari yang paling bisa loe lakukan. Tapi apa???” Gue berharap ada wangsit yang jatuh di kepala gue. Asal jangan biji kelapa aja, bisa benjol.
“Ya, Tuhan mudahkanlah aku dan percerdaslah pengetahuanku, Tolonglah aku. Udah urgen Tuhan.”
Mata gue tidak sengaja melihat sabuk merah yang ada dilemari kaca kamar gue. Kepala gue mulai terpikir dengan pencak silat. Dulu sewaktu SMP, gue pernah ikut pencak silat. “Hmm,.. “ Otak gue mulai ada ide brilian. Gue pernah ikut pencak silat sampai sabuk merah. Kerenkan?
Kenapa gue enggak menunjukan jurus-jurus silat gue yang spektakuler. Yang bisa membuat Ira berkesan. Gue akan menunjukan jurus-jurus silat dan kemudian melakukan tendangan dengan 3 roka’at, bukan tapi dengan 7 roka’at. Selanjutnya,... Otak gue mulai buntu.
“Selanjutnya,.. Selanjutnya,.. Selanjutnya,..”
Selanjutnya kepala nya Ira, gue tendang. Dan selanjutnya, besok gue dibunuh ma bapaknya. Bagus!! Ide gue mulai ngelantur enggak karuan.
Akhirnya gue kepikiran dengan menulis. Gue suka sekali dengan menulis. Karena gue suka berkhayal kemudian gue tulis ataupun menulis buku harian. Gue tulis mirip dengan buku mini biografi. Tapi masalah selanjutnya, “Apa yang harus gue tulis?”
Gue tau! Gue akan tulis ceritanya Khalil Gibran. Ira pasti akan jatuh bangun goyang dombret baca tulisan gue. Kemudian gue ambil buku Khilil Gibran dan siap untuk menulisnya. Gue buka buku setebal 850 halaman. Tapi gue harus nulis buku setebal 850 halaman? Yang bener aja. Mendingan sekalian gue beli’in bukunya.
Terus idenya apa dunk? Otak gue buntu. “Aggghhhhhhh,… !”
Selasa siang, langit sudah terlihat menedung sekali. Pertanda hujan akan segera tiba. Apakah ini pertanda valentine kelabu? Seperti biasa gue menunggu Ira di depan masjid agung ciputat. Yang bersebelahan dengan loper Koran.
Ira biasa turun dari mobil angkutan jurusan pondok labu ciputat, sekitar jam 2 siang. Gue selalu menunggu dia didepan masjid agung untuk pulang bersama. Valentine kali ini, gue akhirnya menyiapkan kado yang special untuk dia. Yaitu cerpen, yang gue tulis sendiri. Gue simpan dalam amplop berwarna merah hati dan di depan amplopnya ada gambar hati yang sangat manis sekali.
Gue lihat Ira, turun dari angkutan umum jurusan ciputat – pondok labu. Yang kemudian dia akan berjalan ke halte selanjutnya untuk meneruskan naik angkutan Dela alias D08, jurusan ciputat BSD. Rumah gue dan Ira berdekatan, kita sama-sama tinggal di bintaro. Tapi kita tidak bertetangga. Dia tinggal di daerah bintaro yang lebih elite.
Gue biasa menunggunya untuk pulang bareng dengan Ira. Tetapi tidak jauh dari halte tempat Ira turun. Ada mobil BMW, yang sering gue lihat menjemput Ira. Mobil BMW itu sering sekali mengantar jemput Ira. Mengajaknya ke tempat makan yang enak dan ke caffee- caffee yang mewah. Sedangkan gue, cuma bisa nunggu lra di depan masjid, naik angkutan. Gue enggak bisa kasih dia apa-apa. Mau beli coklat sama bunga aja, gue harus nagih hutangnya Fandi. Dan kado yang mampu gue kasih, cuma cerpen.
Hujan pun mulai turun. Gue lihat Ira, masih berada disamping mobil BMW. Seperti sedang ada yang dibicarakan. Dan gue yakin, Ira pasti mau diantar pulang sama mobil BMW itu. Dan sekarang valentine, pasti dia dapat kado yang lebih baik dari kado gue.
Dan gue pun, akhirnya pergi menuju halte untuk menunggu mobil angkutan D08, jurusan Ciputat BSB dan saat itu hujan sudah tiba. Rintik-rintik membasahi baju gue, mirp seperti rintik-rintik yang membasahi hati gue. “Buat apa, gue tunggu. Ira pasti sudah naik mobil BMW. Kalau pergi dengan gue, pasti kehujanan.”
“Rendhy.. “
“Ira.. “ Sahut gue terkejut. Sambil membalikan badan.
“Lho!! Loe enggak jadi pulang bareng sama mobil tadi?”
“Enggak.” Balasnya sambil berlari, hujan mulai membasahi kami cukup deras.
“Kan hujan??”
“Iya, kan mau pulang sama Rendhy.”
Tiba-tiba seisi alam dan waktu berenti. Tidak ada satupun mahluk yang bergerak. Dan kemudian ada yang menampar muka gue dengan keras. Serasa digaplok jin.
“Yakin??”
“Iya..”
Gue enggak punya jaket ataupun payung untuk melindungi Ira dari air hujan. Gue cuma punya kedua tangan gue. Yang gue gunakan untuk menutupi kepala Ira dari air hujan. Sedangkan kepala gue kehujanan. Cuma ini yang bisa gue lakukan.
“Gue janji, ra. Suatu saat gue pasti bisa ngelindungi loe, lebih dari ini.”
“Jiahhh. Hujan-hujan gini, dia mabok”
Mobil D08 pun tiba di halte. Gue dan Ira naik mobil D08. Kita duduk bersampingan. Dibagian belakang mobil type suzuki carry.
“Ra, gue punya kado valentine buat loe.”
Dia memandang gue dengan curiga.
“Ne.. “ Gue memberikan amplop pink tersebut.
“Surat cinta??”
“Bukan”
“Apaan?”
“Tagihan telpon.”
“Yang bener aja.” Ira protes. “Loe aja yang bayar!!”
“Bukan cerpen.”
“Hah” Sahut Ira terkejut “Gue baca ya..”
Sepanjang jalan Ira membaca cerpen yang gue tulis. Gue melihat dia tertawa, saat membaca cerpennya. Senangnya gue saat ini. Dan setelah Ira selesai membaca cerpen. Dia hanya sedikit komentar.
“Rendhy, loe gokill !!”
Temen- temen tahu, cerpen apa yang gue tulis buat Ira? Cerpen yang gue tulis dari atas sampai bawah, yang teman-teman baca tadi. Itu yang gue tulis buat Ira.